POLEMIK KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Posted by Amhy Rabu, 01 Januari 2014 4 comments

Perumusan Kompilasi Hukum Islam secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan secara hirarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental) dan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia. Atau dengan perkataan lain, KHI merupakan wujud hukum Islam yang bercorak keindonesiaan.

A.    Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini dari masa ke masa.

B.     Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam
Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang tekhnis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing, sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh mahkamah Agung. Meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah pendatangan Suras Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dengan menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No.1,2,3, dan 4 tahun 1983.
Keempat SKB dimaksud, adalah jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004). Sehinga sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan agama perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama.

C.    Kelahiran Kompilasi Hukum Islam
Pada akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan perkembangan hukum dan peradilan Islam di Indonesia. Pertama, pada tanggal 25 Pebruari 1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam. Rancangan kompilasi itu, pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi pemerintah dalam bentuk Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu dilaksanakan dengan Keputusan
Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991. Kedua, pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Kedua peristiwa itu merupakan suatu rangkaian yang saling berhubungan dan saling melengkapi. Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan hukum substansial, yang diberlakukan pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, antara lain diatur tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dengan demikian, secara yuridis hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan menjadi hukum positif tertulis dalam sistem hukum nasional (tata hukum Indonesia).

D.    Landasan Yuridis
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang karena menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf.

E.      Landasan Fungsional
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.

F.     Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ”a Tool of social enginering” Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam diperlukan Institusi (organissi) untuk menjalankan dan melakukan pengawasan dalam penerapannya di masyarakat.
a.       Peradilan dan Hakim-Hakim Agama
Kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 hanya terdiri dua pasal, yaitu pasal 24 dan pasal 25. kemudian Undang-undang organik selanjutnya yang menjabarkan pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 tersebut adalah UU No. 14/1970 yang menentukan adanya empat lingkungan peradilan, yaitu: umum, agama, militer, dan tata usaha negara. Peranan dari para Hakim Agama yang mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang kokoh dengan ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama, maka dalam menghadapi kompilasi hukum islam sebagai ketentuan hukum material yang harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai ’mulut dari kompilasi’ akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam berijtihad menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.
Sehingga peradilan Agama secara legalistik berdasarkan pasal 10 UU No 14 Tahun 1970, telah diakui secara resmi sebagai salah satu pelaksana Judicial Power dalam negara hukum Republik Indonesia.
b.      Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama indonesia (MUI) lebih meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat dalam rangka penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang membangun. Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) menuju masyarakat berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin.
Peran ulama dalam dinamika bangsa Indonesia sangat besar, dan pengaruhnya luas sekali, baik dalam kehidupan sosial maupun politik, dan sudah berlangsung sejak masa-masa awal islam di indonesia. Kedudukan ulama yang diharapkan menjadi penghubung antara kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat memang serba sulit. Buya Hamka menggambarkannya seperti kue bika yang sedang dimasak di periuk belanga yang terdiri atas dan bawah dijepit api. Pemerintah (dari atas) menginginkan ulama membuat masyarakat mengerti dan turut atas kebijakan pemerintah, sedangkan masyarakat (dari bawah) mendesak ulama untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.
c.       Lembaga – Lembaga Hukum dan Fatwa dari Organisasi Islam
Peranan dari lambaga-lembaga hukum dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam yang ada di Indonesia seperti Muhamadiyah, Nahdatul Ulama dan laim-lain perlu lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam. Namun juga perlu dijaga jangan sampai terjadi lahirnya berbagai fatwa hukum yang bersifat sangat kontraversial dan dapat membingungkan umat.



G.    Penegakan Hukum  Islam (rule of law) dalam bingkai Keindonesiaan
Satu segi dari proses penegakan hukum yang baik adalah segi pelaksanaan hukum atau penegakan hukum yang biasa juga diidtilahkan dengan Law Enforcement. Sebaik-baik materi peraturan, hukum tidak akan bermanfaat kalau segi penegakannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penegakan hukum yang benar.
Kompilasi Hukum Islam sebagi bagian dari keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan lingkungan Peradilan Agama. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan peradilan agama dan ruejukan hukum mesti mereka pedoman sama di seluruh Indonesia yakni Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.
Penegakan Hukum Islam dideskripsikan dengan realisasi Kompilasi Hukum Islam. Pembentukan Kompilasi hukum Islam merupakan penjabaran dari pasal 49 Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Pasal 49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, untuk mewujudkan kesadaran masyarakat mengenai pelaksanaan hukum islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf. Oleh karena itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985.
Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum Islam yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam dipaksa tunduk mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi diserahkan atas kehendak pemeluknya, tetapi ditunjuk seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas dan pelaksanaan penerapannya. Dengan adanya seperangkat jajaran penguasa dan instansi kekuasaan negara yang ikut campur mengawasi pelaksanaannya, sepanjang hal-hal yang mnyangkut bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan, telah diangkat sebagai aturan yang menyangkut ketertiban umum.
Dengan demikian, kelahiran KHI sebagi hukum positif dan unifikatif, maka praktik private affairs disingkirkan. Sejak KHI lahir dimulai sejarah baru di Indonesia, yang mengangkat derajat penerapan hukum Islam sebagai hukum perdata yang resmi dan bersifat publik yang dapat dipaksakan penerapannya oleh alat kekuasaan negara, terutama oleh Badan Peradilan Agama. Adanya pemerataan ke arah paham yang menempatkan hukum Islam yang diatur dalam KHI sebagai hukum perdata yang resmi dan positif, yang memiliki sanksi yang dapat dipaksakan oleh lat kekuasaan negara, sungguh masih berat. Sampai sekarang masih banyak dijumpai kasus perceraian (talak) liar di luar pengadilan. Masih terjadi hal-hal yang lain tidak melalui prosedur hukum Islam yang berlaku di Indonesia.

H.    Beberapa Permasalahan dalam Kompilasi Hukum Islam
Paradigma unifikasi hukum pada ranah keluarga terlihat secara nyata diterapkan negara pada kasus Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penyeragaman sistem hukum ini absah saja dilakukan asalkan memenuhi prinsip keadilan gender dan pluralisme beragama. Tapi kenyataan di lapangan seringkali berkata lain. Banyak produk fikih yang direkrut dalam KHI justru bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan tidak memiliki semangat proteksi terhadap kepentingan anak-anak.
Paradigma unifikasi hukum pada ranah keluarga terlihat secara nyata diterapkan negara pada kasus Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penyeragaman sistem hukum ini absah saja dilakukan asalkan memenuhi prinsip keadilan gender dan pluralisme beragama. Tapi kenyataan di lapangan seringkali berkata lain. Banyak produk fikih yang direkrut dalam KHI justru bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan tidak memiliki semangat proteksi terhadap kepentingan anak-anak.
Dari perspektif pemerintah, KHI ingin ditingkatkan statusnya dari sekadar Inpres menjadi UU. Sekarang, kita punya Rancangan Undang-undang (RUU) tentang wakaf, yang menjadi salah satu bagian dari KHI. KHI itu sendiri berisi tiga masalah pokok, yaitu soal perkawinan, pewarisan, dan perwakafan.
1.      Menurut Dr. Siti Musdah Mulia, MA., staf ahli Menteri Agama bidang Organisasi dan Hukum. ”Ditilik dari segi isi, KHI sangat konservatif. Dilihat dari perspektif kalangan feminis, khususnya dari aspek kesetaraan gender, banyak sekali pasal yang tak sesuai dengan aspirasi keadilan gender. Misalnya, pasal kewajiban suami-istri, pembagian harta kekayaan, dan hak perwalian. Menurut saya, nyaris semua pasal yang ada mengandung persoalan, khususnya dalam hal inkonsistensi. Karena itu, kami ingin sekali melakukan reformasi atas butir-butir KHI ini”.
2.      Ketika berbicara kedudukan suami-istri pada pasal 79 dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Jika dicermati lebih jauh, pasal ini telah berhasil membakukan peran domestik rumah tangga pada perempuan. Perempuan hanya bekerja di wilayah domestik, sementara laki-laki selalu di luar. Laki-laki adalah pemimpin, sementara perempuan adalah yang dipimpin.
Padahal kenyataan di masyarakat tidak selamanya demikian. Kalau dalam pasal tersebut laki-laki ditempatkan sebagai kepala keluarga, Biro Pusat Statistik (BPS) justru mengatakan bahwa satu dari sembilan keluarga di Indonesia dikepalai oleh perempuan. Maka dari itu, kita melihat bahwa KHI kurang melihat realitas yang ada di masyarakat.
3.      Adanya inkonsistensi KHI dalam persoalan Perkawinan. Dikatakan bahwa asas perkawinan Islam adalah monogami. Tapi ayat lain mengatakan bahwa poligami dibolehkan dengan empat syarat yang dikemukakan dalam pasal yang sama. Saya pikir, ada inkonsistensi antar-ayat dalam satu pasal yang sama. Jika asasnya adalah monogami, maka tidak boleh ada celah bagi poligami agar tak terjadi keresahan sosial. Ruang untuk itu mesti dibatasi sesempit mungkin.
Ternyata KHI masih memberi kelonggaran bagi terjadinya poligami. Itulah yang menjadi titik keresahan kita, karena poligami menimbulkan berbagai dampak dalam wujud problem sosial-budaya di masyarakat. Kita mempunyai data untuk memperkuat proposisi ini.
4.      KHI merupakan produk hukum yang dicangkokkan begitu saja dari budaya Arab atau Timur Tengah yang kadang berbeda sama sekali dengan realitas yang kita jumpai di Indonesia.
Jadi, perlu dikembangkan hukum Islam yang sesuai dengan konteks kita di Indonesia agar bisa mengadopsi budaya dan realitas yang kita hadapi. Jika tidak, akan terjadi kesenjangan luar biasa antara hukum dan realitas masyarakat itu sendiri. Kalau begitu adanya, apa gunanya produk hukum kita buat.
5.      Yang paling mendasar adalah, pertama, mengubah keseluruhan pasal-pasal KHI yang masuk kategori bias gender dan tidak memberi perlindungan memadai terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak. Kedua, dari perspektif pluralisme agama, juga terdapat banyak hal yang harus kita ubah. Kita berkeinginan agar KHI lebih mantap posisinya dalam konteks pluralisme agama, serta dalam konteks membangun masyarakat Indonesia yang lebih demokratis.
6.      Mengenai hak waris perkawinan beda agama adalah sebagai berikut Pasal 171 sub c Kompilasi Hukum Islam: Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
7.      Guru Besar Universitas Indonesia Prof. H.M Tahir Azhary, berpendapat, perbedaan agama seharusnya menghalangi seseorang untuk mendapatkan hak waris. Paling tidak, begitulah prinsip hukum Islam. “Ada Sunnah Rasul, tidak mewaris orang beriman dari orang yang tidak beriman, demikian sebaliknya”.

I.       Seputar Waris Islam vs Kompilasi Hukum Islam
Di dalam KHI diatur mengenai hak seorang ahli waris dapat terhalang, apabila ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, menghukumnya karena:
  1. Dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris;
  2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atas hukuman yang lebih berat.
Syarat Waris
Berdasarkan Ijma (kesepakatan para ulama), ada 3 syarat waris, yaitu:
  1. Orang yang akan mewaris benar-benar sudah meninggal;
  2. Ahli waris benar-benar masih hidup;
  3. Tidak ada penghalang sebagai ahli waris.
 Terkait dengan syarat nomor 2 di atas, terdapat perbedaan pengaturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dimana dalam Pasal 185 KHI disebutkan adanya hak dari Ahli Waris Pengganti apabila ahli waris asal sudah meninggal lebih dulu daripada pewaris.
Pasal 185 KHI
“1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si Pewaris, maka kedudukannya dpat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
2. Bagian Ahli Waris Pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.”

Dengan demikian, Waris Islam tidak mengenal adanya ahli waris pengganti. Sehingga bagian kepada ahli waris yang sudah meninggal tadi beralih kepada ahli waris lainnya, mengingat waris hanya berlaku kepada orang yang masih hidup.

4 comments:

Anonim mengatakan...

Bagussss dan cermat sekali ..
Memang kenyataan bahwa kl hukum islam itu tidak sesuai utk diadopsi di indonesia , itu mah fikih nya irang sono yg blum tau akan ada kuhp barat /belanda jd ya jls merugikan bg indonesia yg mayiritas nenganutnya trutama kaum hawa ,, dr situ bentuk prlindungannya gk jelas ,, kl emang lekaki busa mengayomi perempuan knp bs ada kebolehan kawin siri dan nyuruh masak di dapur ,, kl emang laki2 itu gagah sbg pelindung seharusnya lakukan semua pekerjaan wanita

Itu semua hny karena nabinya llki dn mnurut kepentingan kehendak lelaki

Kl nabinya perempuan justru malah ky kaki ky prempuan bs semua yg sbg ibu hrs bs melindungi anak2nya yg baik lk atw pr

Hadeuuuh bikin pusing dn kacau doang kl hukum bkn asli kluar/lahir dr dalam perut negeri sendiri .
Bs2 allahnya meledak bl hukum di karang semaunya ,, krn allah yg menentukan semua bkn org bngsa arab dll ..

Anonim mengatakan...

gw dukung pasal 185, fiqih udah ga relevan, yang enak yang masih hidup dapet jatah gede.

ini kejadian di gw, bapak gw alm duluan nenek dan kakek gw belakangan.

ahli waris yg masih hidup skrng pada berantem warisan, sedangkan yg ahli waris yg ga ada disingkirin

gw malah mikir, fiqih ini harus direvisi ulang oleh para ulama.

Anonim mengatakan...

iya betul menurut gw pasal itu gak relevan. harus'a mereka menggunakan Hukum fiqih berdasarkan Al-Qur'an.
jika anak meninggal lebih dulu dari orang tua maka anak tersebut tidak mendapatkan warisan karena syarat ahli waris salah satu'a adalah ahli waris masih hidup. dan cucu bukan ahli waris
jadi tidak akan ada saudara yg bertengkar karena meributkan warisan...

#marikembali ke Al-Qur'an

Teknik Informatika mengatakan...

Sejauh mana prinsip pluralisme beragama dijaga dalam penerapan KHI, khususnya dalam konteks perlindungan hak-hak perempuan? Visit Us Telkom University

Posting Komentar

Pengikut

Teman